(Berikut adalah tulisan seorang teman, kebetulan kami tinggal satu kota di US. Untuk Cynthia terima kasih ijin menempelkan tulisannya di blog ini)
2 tahun yang lalu seorang teman pernah bilang:
Kalau orang belum berusia 30 tahun nggak Marxist, berarti dia gak punya hati.
Tapi kalo orang sudah diatas 30 tahun masih Marxist, berarti dia gak punya otak.
Waktu itu saya cuma tertawa dan manggut manggut sambil bicara dalam hati,
“aahhh biarin, khan semua dikembalikan ke masing2, lagian realistis juga sih apa yang dia bilang, mau diakui atau tidak semua orang akan bilang “khan guwe butuh duit juga, khan kesejahteraan gak dijamin negara dan kudu dicari sendiri, whatsoever”.
Tapi hari ini mungkin semuanya harus diredefinisi ulang, karena hari ini satu gambaran “gagalnya’ kehidupan terlihat nyata dibelakang apartemenku. Seperti biasa, gedung apartemenku jadi saksi bisu dua kehidupan yang berbeda yang hanya dipisahkan oleh satu blok bangunan (alias cuma beda 1 row jalan); dimana didepan jalan terlihat kehidupan yang penuh “kesejahteraan dan kemapanan” tapi dibelakang jalan jadi ruang kehidupan yang penuh “kematian dan keputusasaan”
.
Di jalan depan manusia berpesta ria tiap weekend, jalan berpindah dan memilih makanan dari bar yang satu ke bar yang lain, pindah dari satu live music ke live music yang lain; tapi di jalan belakang manusia-manusia lain menenteng tas-tas mereka yang berisi pakaian seadanya berpindah dari public library ke trotoar jalan ketika jam buka library sudah habis, terus menempat di pojok-pojok gang sambil menggelar kertas koran dan bersiap merebahkan badan di pojok-pojok itu.
Di jalan belakang itu manusia-manusia itu berbicara tidak dengan orang lain, tidak juga berbicara diantara mereka, melainkan benar-benar berbicara dengan diri mereka sendiri seolah2 mereka berbicara dengan orang lain. kadang mereka marah-marah, kadang tiba-tiba mereka tertawa sendiri, kadang-kadang mereka juga mendadak diam seolah-olah berdoa. Tidak ada ekspresi dari mata mereka, tidak ada pancaran harapan dari mata mereka, tidak ada juga satu titikpun sinar kehidupan disitu.
Di jalan belakang itu, ketika jam menunjukkan waktunya trash bin apartemen dikeluarkan menunggu jemputan, mereka berlari berlomba-lomba mengais sampah, bukan untuk mencari barang untuk dikumpulkan dan dijual atau digunakan; melainkan mencari Makanan dan Minuman untuk dimakan dan dikumpulkan. tak peduli busukkah makanan itu atau enakkah makanan itu, rasa dan ekspektasi sudah tidak ada lagi. hanya naluri biologis untuk mengisi perutlah yang bicara.
Di jalan belakang itu, saya bertanya, inikah yang katanya kesejahteraan? Inikah yang dinamakan ” the American Dream, land of hope ?”. Dan saya bertanya lagi; inikah keberhasilan kapitalisme yang mengangkat manusia yang tinggi semakin tinggi? Inikah janji-janji liberalisme yang menawarkan eksplorasi seluas-luasnya terhadap segala kemampuan pribadi manusia? dan manusia lain terlupakanlah.
Terus dimanakah nilai2 kemanusiaan diletakkan? apakah sudah terkubur di lapisan terbawah tumpukan sampah itu dan masih harus digali lagi? Apakah terkubur jauh dibawah tumpukan semangat egosentris yang membumbung karena keberhasilan individu masing2? Ataukah tertutupi dalam-dalam oleh tumpukan uang yang diatasnya tertulis “In God we trust ?”
Jika di tanah airku jutaan pengamat sosial politik ekonomi, humanitarian workers berteriak, “indonesia sampah, tidak ada kesejahteraan, kemiskinan semakin menghujam, masyarakat miskin semakin miskin karena menderita, tidak mampu sekolah, tidak mempunyai kebahagiaan sedikitpun, pemulung dan anak-anak jalanan di kolong-kolong flyover tak punya lagi masa depan dan secuil titik cerah”
Mungkin sepulang nanti akan kubisikkan ke mereka, berbahagialah saudaraku, karena selalu saja masih kulihat setitik senyuman di sudut bibirmu, karena masih bisa kulihat setitik refleksi cahaya memancar dari matamu, masih ada satu dua uluran tangan yang mencoba menarikmu untuk pelan dan pelan dan pelan mencari harapan akan masa depan.
Dan mungkin akan kubisikkan ke mereka juga, “disana, in the land of hope, dinegara yang paling adidaya, masih ada saudara-saudara lain yang bahkan kesulitan menemukan diri mereka apakah mereka masih merasa hidup”
dan untuk temanku yang dua tahun lalu berkata padaku itu, mungkin akan kubilang ke dia ” sekalipun sudah diatas 30, saya memilih untuk tetap Marxist karena saya masih punya otak tapi saya tidak mau kehilangan hati”.
selamat menunaikan ibadah puasa untuk teman-teman yang menunaikan, semoga di bulan puasa ini hati nurani dan kemanusiaan kita semakin dibukakan buat mereka-mereka yang membutuhkan uluran tangan kita akan kehidupan yang lebih manusiawi.
Dulu ada temen gw, orang Irlandia, pas pertama kali dateng ke Indonesia, dia bilang, wahh di negara ini sangat kontras sekali yaa antara yg kaya dan yg miskin. Dia koment itu pas ngeliat banyak peminta2 yg lumpuh di pinggiran trotoar BIP,sementara mobil2 berseliweran…
Abis baca tulisan diatas, gw jd pengen bilang, “Dont be hipocrit, not just in my country, it happens all to the country, and it happens in America, the super power country” π
Padahal kl ngeliat acara diOprah, kayanya orang Amrik itu dermawan banget yaa, mereka kan suka banget bikin acara amal2 gitu, dan nyumbangnya suka gak tanggung2….kirain semua orang Amrik kaya gitu, ternyata teteup yaa..yg gak peduli sih gak peduli aja…
Thanks for giving us another side of USA, THE SUPER POWER COUNTRY π